Zat organik adalah zat yang pada umumnya merupakan bagian dari binatang
atau tumbuh tumbuhan dengan komponen utamanya adalah karbon, protein,
dan lemak lipid. Zat organik ini mudah sekali mengalami pembusukan oleh bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut. Limbah
organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia
seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan
perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya
(Polprasert, 1989). Limbah organik yang masuk ke
dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi
dan terlarut. Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung
mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya berada di
badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Dimanapun limbah
organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain,
seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya; maka akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba; baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya
memerlukan oksigen); mikroba anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak
memerlukan oksigen) dan mikroba .fakultatif (mikroba yang dapat hidup
pada perairan aerobik dan anaerobik).
Limbah
organik yang ada di badan air aerob akan dimanfaatkan dan diurai
(dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR); dengan proses seperti pada
reaksi (1) dan (2):
BAR + O2 + BAR è CO2 + NH3 + prod lain + enerji .. (1) (COHNS)
COHNS + O2 + BAR + enerji è C5H7O2N (sel MO baru)…(2)
Kedua
reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak
limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin
besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan
jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi
oksigen terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba
aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang
untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen.
Dekomposisi di Badan Air Anaerob
Limbah
organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan
diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN);
dengan proses seperti pada reaksi (3) dan (4):
COHNS + BAN è CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + enerji ……….(3)
COHNS + BAN + enerji è C5H7O2 N (sel MO baru)….…..(4)
Kedua
proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup
di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba
baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta
senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide
(H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau
menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau
anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi
anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat
membahayakan organisme lain, termasuk ikan.
Selain
menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti
tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air
menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme perairan
berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat
digambarkan sebagai reaksi (5).
MATAHARI
NH3 +7.62 CO2 + 2.53 H2O è C7.62 H8.06 O 2.53 N + 7.62 O2 …..(5)
NH3 +7.62 CO2 + 2.53 H2O è C7.62 H8.06 O 2.53 N + 7.62 O2 …..(5)
DAMPAK DEKOMPOSISI LIMBAH ORGANIK.
Uraian
diatas mengungkapkan bahwa proses dekomposisi limbah organik di badan
air bagian manapun cenderung selalu merugikan karena sebagian besar
produknya (NH3 H2S dan CH4) dapat langsung mengganggu kehidupan fauna,
sedang produk yang lain (nutrien) meskipun sampai pada konsentrasi
tertentu menguntungkan namun jika limbah/nutrien terus bertambah
(eutrofikasi) akan menjadi pencemar yang menurunkan kualitas perairan
dan akhirnya mengganggu kehidupan fauna.
Dampak Langsung.
Pengaruh
pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah
terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan
mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan
tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen
terlarut dan jenis serta fase fauna. Secara umum diketahui bahwa
kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan
kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari
fase dewasanya. Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen
terlarut menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih
menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya. Fenomena
seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa akhir-akhir ini di
sepanjang pantai utara P. Jawa yang padat penduduk dan tinggi pemasukan
limbah organiknya tidak mudah lagi ditemukan bibit-bibit udang dan
bandeng (nener); padahal pada masa lalu dengan mudahnya ditemukan..
Kesulitan
fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak
permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah
terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar
dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis
sehingga badan air menjadi anaerob (Polprasert, 1989). Jika fenomena
ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal
karena tidak bisa menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah
badan air maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke
permukaan hingga terhindar dari kematian. Secara alamiah kejadian
anaerob di semua lapisan badan air memang sangat sulit terjadi karena
bagian atas air selalu berhubungan dengan udara bebas yang selalu
mensupplainya, namun demikian kalau sebagian badan air anaerob sangatlan
sering; misal di teluk-teluk waduk dan pantai yang relatip menggenang
sering muncul gelembung-gelembung gas yang mengisaratkan bahwa bagian
air yang anaerob dekat dengan permukaan air.
Telah
diuraikan bahwa pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik
menghasilkan gas-gas, seperti H2S, metan dan amoniak yang bersifat racun
bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen
terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan
dapat membunuh fauna air yang ada.
Selain
menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan
senyawa beracun yang selalu merugikan dan dapat menyebabkan kematian
fauna; dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi perairan yang cocok
bagi kehidupan mikroba fatogen yang terdiri dari mikroba, virus dan
protozoa (Polprasert, 1989), yang setelah berkembang-biak, setiap saat
dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan ikan, udang dan
fauna lainnya
Dampak Tidak Langsung (Eutrofikasi)
Selain
menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun
dan menjadi tempat hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air;
dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang
menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan
alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Hutchinson, 1944;
Margalef, 1958 dan Frost, 1980). Sampai pada tingkat konsentrasi
tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan
meningkatkan produktivitas perairan (Garno, 1995); karena nutrien yang
larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no
5) untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat
(Garno, 1992). Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan
peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah
fitoplankton (Garno, 1998). Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton
adalah makanan utama ikan; maka kenaikan kelimpahan keduanya akan
menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
Sangat
disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak
positif seperti itu hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses
yang berdampak negatif bagi kualitas badan air (Anonim, 2001).
Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air,
apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi
sangat subur atau eutrofik (Henderson, 1987). Proses peningkatan
kesuburan air yang berlebihan yang disebabkan oleh masuknya nutrien
dalam badan air, terutama fosfat inilah yang disebut eutrofikasi
(Anonim, 2001).
Sesungguhnya
eutrofikasi adalah sebuah proses alamiah yang terjadi dengan
pelahan-lahan dan memakan waktu berabad-abad bahkan ribuan tahun; di
mana badan air yang relatif tergenang seperti danau dan pantai tertutup
mengalami perubahan produktifitas secara bertahap. Namun demikian,
sejalan dengan peningkatan populasi manusia yang diikuti dengan
peningkatan jumlah limbah yang dihasilkannya, maka tanpa disadari
fenomena ini telah dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade
seperti yang umum terjadi pada berbagai danau dan pantai (Goldman dan
Horne,1983); bahkan beberapa tahun saja seperti eutrofikasi yang terjadi
pada perairan waduk kaskade Citarum (Garno, 2001a) dan beberapa minggu
seperti eutrofikasi yang terjadi pada perairan tambak (Garno, 2001b).
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa eutrofikasi memang telah menjadi
masalah perairan umum di seluruh di dunia..
Publikasi
yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP·l-1 dan
nitrogen > 0,300 mgN·l-1 dalam badan air akan merangsang fitoplankton
untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat (Henderson dan Markland,
1987), sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal
dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno, 1992).
Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air,
setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton
berbeda (Henderson dan Markland 1987; Margalef, 1958;. Selain itu setiap
jenis fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap
perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan
Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam
suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda
dengan badan air lainnya (Hutchinson, 1944; Margalef., 1958 Reynolds,
1989).
Perbedaan
struktur dan dominasi jenis fitoplankton tersebut diatas juga
dipengaruhi oleh karakteristik fitoplankton dan zooplankton yang ada.
Diketahui beberapa jenis fitoplankton tidak dapat dimakan oleh
zooplankton karena bentuk morpologi, fisiologi (Horn, 1981; Garno, 1993;
Geller, 1975, Downing dan Petter, 1980) komposisi fitoplankton; dan
mekanisme makan zooplankton (DeMott, 1982; Frost, 1980; James &.
Forsynth 1990) serta faktor abiotik lainnya. Selanjutnya dalam kondisi
persediaan makanan (fitoplankton) banyak dan beragam; zooplankton
melakukan pemilihan terhadap jenis, bentuk dan ukuran fitoplankton yang
hendak dimakan atau selective feeding (Garno, 1993).
Interaksi
kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut
menyebabkan badan air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan
didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak
bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan; termasuk
karena beracun. Sebagai contoh yang nyata dari fenomena ini adalah
dominasi Mycrocistis sp di waduk-waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur
(Garno, 2001, 2002, 2003); dan dominasi Pyrodinium bahamense, lexandrium
spp. dan Gymnodinium spp. di perairan pantai/pesisir waktu terjadi
“red-tide
Selain
merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi
fito-plankton yang tidak dapat dimakan dan beracun; blooming yang
menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan fauna; karena
fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut
secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk
de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak
langsung tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut
apalagi jika sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya
tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut
proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3
dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air,
termasuk ikan.
Selain
badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan
seperti tersebut diatas, eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman
air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng gondok) maupun dalam
badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan
danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan
subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes),
Hydrilla dan rumput air lainnya.
Akhirnya,
yang harus dimengerti dan disadari adalah bahwa karena Indonesia
merupakan negara tropis yang mendapatkan cahaya Matahari sepanjang
tahun; maka blooming (dalam arti biomasa alga tinggi) dapat terjadi
sepanjang tahun. Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari
manapun asalnya kalau konsentrasi nutrien dalam badan air meningkat maka
akan meningkat pula aktifitas fotosintesa fitoplankton yang ada; dan
jika peningkatan nutrien cukup besar alau lama akan terjadi blooming.
Fenomena itulah yang menyebabkan badan-badan air (waduk, danau dan
pantai) di Indonesia yang telah menjadi hijau warnanya tidak pernah atau
jarang sekali menjadi jernih kembali; tidak seperti di negeri 4 musim
seperti Kanada dan Jepang yang blooming hanya terjadi di akhir musim
semi dan panas.
0 komentar:
Posting Komentar